Minggu, 29 Mei 2016

Corak Kebudayaan Islam Kota Surakarta, Jawa Tengah



CORAK KEBUDAYAAN ISLAM KOTA SURAKARTA, JAWA TENGAH

Masjid Agung Surakarta Sebagai Pusat Kebudayaan Islam di Solo
           
Dahulu masjid ini bernama Masjid Agung Keraton Hadiningrat dan dibangun pada sekitar tahun 1749 oleh Pakubuwono III. Masjid ini terletak di sekitar alun-alun Utara Keraton Surakarta. Masjid ini memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Solo. Berdiri di atas lahan seluas hampir 1 hektare, bangunan utama masjid yang berukuran 34,2 meter x 33,5 meter mampu menampung sekitar 2000 jamaah. Sepanjang perjalanannya, masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi atau perbaikan dan penambahan.
            Bangunan pertama yang dibuat adalah bagian utama masjid, Penambahan pertama dilakukan oleh Pakubuwono IV yang memberikan kubah berbentuk paku bumi khas Jawa. Penambahan berikutnya dilakukan oleh Pakubuwono X yang membuat menara di sekitar masjid dan jam matahari untuk menentukan waktu shalat. Pintu utama masjid pun diubah menjadi corak khas Timur Tengah.
            Pakubuwono XII membangun kolam di sekitar masjid dengan tujuan agar siapapun yang masuk ke dalam masjid dalam keadaan suci. Namun kolam tersebut tidak lagi difungsikan dengan berbagai alasan. Beliau juga membangun ruang keputren dan serambi di bagian depan. Penambahan terakhir dilakukan oleh pemerintah Surakarta, ada poliklinik, perpustakaan, dan kantor pengelola.

            Pada masa lalu pengurus masjid ini merupakan abdi dalem keraton, namun saat ini hanya kepala pengurus masjid saja yang merupakan seorang abdi dalem keraton. Masjid ini sampai sekarang menjadi pusat kebudayaan islam di Solo dan menjadi tempat pusat tradisi Islam seperti sekaten dan maulid nabi.
Tradisi Sekaten
SekatenmerupakanperingatankelahiranNabi Muhammad dalambentuk ritual upacaraadat yang digelarolehduakeratonanakkerajaanMataram, yakniNgayogyakartoHadiningrat (Yogyakarta) dan Surakarta Hadiningrat (Solo). Terdapatsejumlahkesamaandanperbedaandalamupacara di duakeratontersebut.


Menyimak sejarah versi masing-masing, ditemukan kenyataan bahwa kedua keraton berbagi cerita sejarah mengenai asal-muasal lahirnya tradisi Sekaten tersebut, yakni dimulai pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16), dan merupakan sebentuk upaya dakwah yang dilakukan para Wali melalui pendekatan seni-budaya.
Nafas seni-budaya sangat terasa dalam ritual upacara adat-keagamaan ini, dimana gamelan menjadi unsur penting di kedua keraton. Di keraton Yogya, gamelan Skatenter diri dari dua perangkat, yakni gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di keraton Surakarta, dua perangkat gamelan yang menjadi bagian dalam ritual Sekaten bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Di dua keraton tersebut, sejak beberapa hari sebelum 12 Robiul Awal (Maulud) gamelan akan dimainkan. Bedanya, di keratonYogya, prosesi dimulai pada tanggal 6 Rabiul Awal (Maulud), sementara di keraton Surakarta sehari lebih awal, yakni 5 Rabiul Awal (Maulud).
Selama kurang lebih satu minggu, di Masjid Agung masing-masing keraton, gamelan-gamelan tersebut dimainkan. Selama itu pula seputaran Masjid Agung ramai dengan hiruk-pikuk pedagang dan warga yang ingin menyaksikan. Dalam tradisi keraton Yogyakarta, sejak sebulan sebelumnya, biasa juga digelar pasar malam dalam rangka memeriahkan upacara adat-keagamaan ini, sehingga Sekaten juga dikenal dengan sebutan Pasar Malam Perayaan Sekaten.
Pada 12 Rabiul Awal (Mulud), pagi menjelang siang,  digelar prosesi Gerebeg Gunungan atau Gerebeg Mulud sebagai puncak Sekaten di masing-masing keraton. Gunungan sendiri merupakan istilah untuk aneka panganan yang disusun menyerupai gunung, yang melambangkan kesuburan dan kesejahteraan dua kerajaan Mataram tersebut. Aneka panganan dalam gunungan berupa hasil bumi, seperti buah-buahan, sayu-mayur, kue-kue, dan lain sebagainya. Di Keraton Surakarta, sepasang gunungan utama dikenal dengan sebutan Gunungan Kakung dan Gunungan Putri.
Warga yang sudah siap sedia sejak subuh tak jarang berebutan untuk mendapatkan aneka panganan dalam gunungan-gunungan tersebut. Bagi warga di lingkungan keraton, panganan-panganan itu lebih dari sekedar kudapan, melainkan sesuatu yang mengandung berkah, yang dianggap bisa membawa perlindungan dan kesejahteraan bagi yang memakannya. 

Daftar Pustaka









   

0 komentar:

Posting Komentar