Biografi, Karya, dan Pemikiran Abdul Rauf Al-Singkili
Nama lengkap Abdul Rauf Al-Singkili adalah Amin al-Din Abdul Rauf
ibn Ali al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia diperkirakan lahir di Singkel,
Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya seorang guru dan mubalig yang
bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap di Singkil,
Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan gelaran al-Fansuri, ibu Abdul Rauf
berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan gelaran al-Singkili karena dia lahir
di daerah Singkel, Aceh. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam
pada ayahnya sendiri.
Mengenai latar belakang pendidikannya, Abdul Rauf telah mempunyai
dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke
tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para
pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf mengetahui semua
permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran karya-karya Hamzah
Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke
tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdul Rauf belajar kepada sejumlah guru,
ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al
Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling
berpengaruh pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Al-Dajjani Al
Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf mendapat
ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat Syaththariyyah dan
Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu
lahir seperti tafsir, fiqih, dan hadits. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut
sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdul Rauf, yang sangat menekankan perpaduan
antara syariat dengan tasawuf.
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan
mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid
yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara
lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan
(dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari
Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola pemikiran Abdul Rauf menarik hati
Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf
akhirnya diangkat sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas
administrasi masalah-masalah keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan
dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan
Teungku di Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi
di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.
Karya Abdul Rauf al-Singkili:
Berikut adalah sebagian
karya Abdul Rauf yang dapat kami sajikan dari berbagai sumber:
1.
Turjuman
al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama dalam
bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Abdul Rauf sekembalinya dari negeri Arab.
2.
Mir’atuttullab
fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqih yang
ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah. Kitab
ini berisi kajian tentang muamalat. Di dalam kitab ini, ada kajian beliau yang
membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.
3.
Al faraidh,
risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.
4.
Hidayah
al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan,
kesaksian, dan sumpah.
5.
’Umdat al
Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasawuf yang isinya terdiri atas
tujuh bab. Di akhir kitab ini Abdul Rauf menguraikan silsilah tarekat
Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
6.
Kifayatul
Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi
mengenai ilmu tasawuf.
7.
Daqaiqul Huruf,
yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi.
8.
Bayan Tajalli,
kitab ini berisi tentang penjelasan Abdul Rauf tentang zikir yang yang utama
dibaca ketika sakaratul maut.
9.
Tambihul Masyi
Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasawuf Abdul
Rauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.
10.
Attariqat as-Syattariyah,
berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.
11.
Mawaizil
Badiah, berisi tiga puluh dua hadits beserta syarahnya yang berhubungan dengan
tauhid, akhlaq, ibadat dan tasawuf.
12.
Penjelasan
tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.
13.
Bayan al-Arkan,
pedoman dalam melaksanakan ibadah.
14.
Risalah adab
Murid dengan Ulama.
15.
Risalah
Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi tentang
kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam metode zikir
dalam tarekat Syattariyah.
16.
Syams
al-Makrifat, berisi tentang uraian tasawuf dan ilmu ma’rifat yang beliau ambil
dari Ahmad Qushasi.
17.
Majmu’ Masail,
berisi tasawuf terutama uraian menyangkut kehidupan beragama.
18.
Bayan
al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya
tentang al-Akyan as-Sabithah.
19.
Lubb al-Kasy wa
al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.
20.
Sullam
al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al
Qushasi.
21.
Pernyataan
tentang zikir yang paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa
Allah.
Pemikiran Abdul Rauf al-Singkili:
Aliran Tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Abdul Rauf sepulangnya
dari negeri Arab dalam perkembangannya di Indonesia menghadapi dua kutub aliran
tasawuf yang berbeda sebagai warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, dan Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah
menjadi ”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud dan
syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Abdul Rauf adalah
mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan dengan
kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan
antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi
pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat.
Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan
Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah.
Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan
dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.
Abdul Rauf menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam
pandangan Abdul Rauf, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat
lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir
ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati
yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.
Ajaran tasawuf Abdul Rauf yang lain adalah bertalian dengan
martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama martabat
ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan
hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah
atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang
potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam
tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam
sya’ir-sya’nya.
Rekonsiliasi syariah dan tasawuf yang dikembangkan oleh Abdul Rauf
dapat diamati dari tiga pilar corak pemikirannya dalam bidang tasawuf, ketiga
pokok pemikiran tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan
kamil, dan jalan menuju Tuhan (tariqat).
a) Ketuhanan dan hubungannya dengan
alam, Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang wujud hakiki adalah
Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni bayangan dari wujud hakiki.
b) Insan kamil adalah sosok manusia ideal. Abdul
Rauf memahami insan kamil sebagai kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj
dan paham martabat tujuh yang telah ditulis oleh Syeh Abdullah al-Burhanpuri
dalam kitab Tuhfah almursalah ila ruhin nabi. c)
Thariqat (jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh
Syeh Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir
sejalan dengan kepatuhan total pada syariat.
Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang
menempuh jalan tasawuf, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi
mendisiplinkan kerohanian Islam. Dalam berdzikir ada dua metode yang
diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti
pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang
Pencipta.
Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan
melainkan melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf
berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan
dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La
ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid: penegasan,
pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.
Sumber : http://satugoresanpena.blogspot.co.id/2015/06/biografi-karya-dan-pemikiran-abdul-rauf.html diakses pada tanggal 30 mei 2016
Sumber : http://satugoresanpena.blogspot.co.id/2015/06/biografi-karya-dan-pemikiran-abdul-rauf.html diakses pada tanggal 30 mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar